Rabu, 29 Agustus 2012

Resep kue nastar

Bahan dari kue kering ini:

200 gram mentega
2 butir kuning telur
50 gram gula halus
350 gram terigu
1 sendok makan maizena
1 sendok makan susu bubuk
1/4 sendok teh vanili
Selai nanas secukupnya

Polesan:

1 butir kuning telur + 1 sendok makan air
50 gram keju parut untuk tabur

Kue Nastar Keju

Cara membuat Kue Nastar Keju:

  1. Kocok mentega, telur, gula sampai lembut.
  2. Masukkan terigu, maizena, susu, vanili. Aduk rata.
  3. Ambil adonan sebesar kelereng. Isi dengan selai. Bulatkan.
  4. Poles dan tabur keju. Oven 170 derajat Celsius, 15 menit.

Resep Nastar Klasik

Nastar Biasa

Bahan yang diperlukan untuk membuat kue kering ini :

Bahan:

  • 250 g tepung terigu rendah protein/soft wheat/cap kunci
  • 20 g susu bubuk
  • 60 g gula halus
  • 2 butir kuning telur
  • 1/4 sdt garam halus
  • 30 g tepung maizena
  • 225 g mentega/margarin
  • Cengkih untuk hiasan

Selai Nanas:

  • 400 gr nanas matang, parut
  • 200 g gula pasir
  • 5 cm kayu manis/ 1/4 sdt bubuk kayu manis
  • 1/4 sdt garam halus
  • 3 buah cengkih

Untuk Olesannya , aduk rata:

3 butir kuning telur
2 sdm susu tawar cair/ 1 sdm susu bubuk, larutkan dengan 2 sdm air

Cara Membuat kue nastar Klasik Biasa :

  1. Campur tepung terigu, tepung maizena dan susu bubuk, aduk rata/ayak.
  2. Tambahkan gula halus, kuning telur, mentega/margarin dan garam ke dalam campuran tepung. Aduk dengan garpu atau mixer kecepatan rendah (gunakan satu gigi)hingga terbentuk adonan yang berbutir-butir.
  3. Padatkan adonan dengan tangan atau sendok kayu sehingga terbentuk adonan yang bisa dipulung/dibentuk.
  4. Ambil sejumput adonan, bentuk menjadi bulatan, pipihkan. Isi tengahnya dengan 1/2 sendok teh selai nanas. Bulatkan kembali.
  5. Atur kue yang telah dibentuk di atas loyang beroles margarin. Olesi permukaannya dengan bahan olesan. Tancapkan satu buah cengkih di atasnya.
  6. Panggang kue dalam oven bertemperatur 150 derajat celcius selama 20 menit atau hingga kue matang dan berwarna kuning kecokelatan. Angkat, dinginkan. Simpan dalam stoples kedap udara.
  7. Selai Nanas: Campur parutan nanas, gula pasir, kayu manis, cengkih dan garam, aduk rata. Panaskan sambil terus diaduk hingga terbentuk adonan selai yang kental. Angkat, dinginkan.

Resep Rainbow Cake

ada cinta yang ku rasakan saat bertatap dalam canda
ada cinta yang kau getarkan saat ku resah dalam harap 
oh indahnya cinta

pernah ku ragu akan sikapmu
tapi mengapa kini semuanya indah
oh resahnya

ada cinta yang ku rasakan saat bertatap dalam canda
ada cinta yang kau getarkan saat ku resah dalam harap 
oh indahnya

pernah ku malu pada hatiku tapi mengapa kini seolah cinta 
(seolah cinta) tlah ku genggam

ada cinta yang ku rasakan saat bertatap dalam canda
ada cinta yang kau getarkan saat ku resah dalam harap 
oh indahnya

Tuhan ku ingin tahu semoga semua ini (segalanya)
bukan hanya rasa, rasaku saja, rasaku sendiri

ada-ada saja dengan apa yang ku rasa
bergetar di dada buatku merana
i got the feeling cause you making me smiling
thinking of you pusing tujuh keliling
ku merasa oh ada cinta

ada cinta yang ku rasakan saat bertatap dalam canda
ada cinta yang kau getarkan saat ku resah dalam harap 
ada cinta yang ku rasakan saat bertatap dalam canda
ada cinta yang kau getarkan saat ku resah dalam harap 
oh indahnya oh indahnya

Jumat, 17 Agustus 2012

tepu dinda upik







5 tips mencegah bibir kering saat berpuasa

Pengelupasan Kulit Bibir
Minimal seminggu sekali Anda harus mengelupaskan kulit mati di bibir. Caranya, basahi bibir dengan air hangat lalu gosok bibir dengan sikat gigi berbulu lembut. Lakukan perlahan agar tidak melukai bibir. Lebih baik lagi menggunakan produk pengelupas untuk bibir. Biasanya berbentuk seperti lipbalm. Kulit mati dan kulit kering akan lebih mudah terekelupas.

Menggunakan Lip Balm
Cara lain mencegah bibir kering adalah rajin mengaplikasikan lip balm. Carilah lip balm yang kaya moisturizer, mengandung minyak alami dan terdapat label SPF (sun protecting factor). Kandungan tersebut dapat menjaga bibir dari sinar matahari yang merupakan salah satu pemicu bibir kering.

Hindari Makan Pedas dan Asin
Saat berbuka puasa dan sahur hindari makanan pedas dan terlalu asin. Kedua jenis makanan ini dapat menyebabkan bibir dan mulut kering. Selain itu mengonsumsi makanan asin dan pedas membuat Anda cepat haus.

Hindari Menjilat Bibir
Menjilat bibir sama sekali tidak membantu. Malahan dapat memperburuk kondisi kulit bibir. Air liur yang menempel, membuat bibir semakin kering. Oleh karenanya, hindari menjilat bibir.

Madu
Madu merupakan cara alami untuk mengatasi bibir kering dan pecah-pecah. Selain dikonsumsi, Anda dapat mengoleskannya pada bibir. Masalahnya Anda tidak bisa mengoleskan bibir di tengah hari. Oleskan madu menjelang tidur. Saat sahur, minumlah madu sebanyak tiga sendok makan. Selain dapat mencegah bibir kering, madu juga memberikan Anda kekuatan selama berpuasa.

Rabu, 15 Agustus 2012

sejarah kota palembang


Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur setidaknya 1382 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai prasasti Kedudukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 682. Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Berkemungkinan karena kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air.
Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah:
  • Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, yaitu : Pegunungan Bukit Barisan.
  • Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah.
  • Daerah pesisir timur laut.
Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan faktor setempat yang sangat mementukan dalam pembentukan pola kebudayaan yang bersifat peradaban. Faktor setempat yang berupa jaringan dan komoditi dengan frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dulu dan berhasil mendorong manusia setempat menciptakan pertumbuhan pola kebudayaan tinggi di Sumatera Selatan. Faktor setempat inilah yang membuat Palembang menjadi ibukota Sriwijaya, yang merupakan kekuatan politik dan ekonomi di zaman klasik pada wilayah Asia Tenggara. Kejayaan Sriwijaya diambil oleh Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara
Sriwijaya, seperti juga bentuk-bentuk pemerintahan di Asia Tenggara lainnya pada kurun waktu itu, bentuknya dikenal sebagai Port-polity. Pengertian Port-polity secara sederhana bermula sebagai sebuah pusat redistribusi, yang secara perlahan-lahan mengambil alih sejumlah bentuk peningkatan kemajuan yang terkandung di dalam spektrum luas. Pusat pertumbuhan dari sebuah Polity adalah entreport yang menghasilkan tambahan bagi kekayaan dan kontak-kontak kebudayaan. Hasil-hasil ini diperoleh oleh para pemimpin setempat. (dalam istilah Sriwijaya sebutannya adalah datu), dengan hasil ini merupakan basis untuk penggunaan kekuatan ekonomi dan penguasaan politik di Asia Tenggara.
Ada tulisan menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada abad ke 14, menceritakan tentang Sriwijaya sebagai berikut :Negara ini terletak di Laut selatan, menguasai lalu lintas perdagangan asing di Selat. Pada zaman dahulu pelabuhannya menggunakan rantai besi untuk menahan bajak-bajak laut yang bermaksud jahat. Jika ada perahu-perahu asing datang, rantai itu diturunkan. Setelah keadaan aman kembali, rantai itu disingkirkan. Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah dipelabuhan dikepung oleh perahu-perahu milik kerajaan dan diserang. Semua awak-awak perahu tersebut berani mati. Itulah sebabnya maka negara itu menjadi pusat pelayaran.
Tentunya banyak lagi cerita, legenda bahkan mitos tentang Sriwijaya. Pelaut-pelaut Cina asing seperti Cina, Arab dan Parsi, mencatat seluruh perisitiwa kapanpun kisah-kisah yang mereka lihat dan dengan. Jika pelaut-pelaut Arab dan Parsi, menggambarkan keadaan sungai Musi, dimana Palembang terletak, adalah bagaikan kota di Tiggris. Kota Palembang digambarkan mereka adalah kota yang sangat besar, dimana jika dimasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak berhenti bersahut-sahutan (dalam arti kokok sang ayam mengikuti terbitnya matahari). Kisah-kisah perjalanan mereka penuh dengan keajaiban 1001 malam. Pelaut-pelaut Cina mencatat lebih realistis tentang kota Palembang, dimana mereka melihat bagaimana kehiduapan penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit tanpa dipungut pajak. Sedangkan bagi pemimpin hidup berumah ditanah kering diatas rumah yang bertiang. Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan lidah dan aksara mereka. Palembang disebut atau diucapkan mereka sebagai Po-lin-fong atau Ku-kang (berarti pelabuhan lama).Setelah mengalami kejayaan diabad-abad ke-7 dan 9, maka dikurun abad ke-12 Sriwijaya mengalami keruntuhan secara perlahan-lahan. Keruntuhan Sriwijaya ini, baik karena persaingan dengan kerajaan di Jawa, pertempuran dengan kerajaan Cola dari India dan terakhir kejatuhan ini tak terelakkan setelah bangkitnya bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam yang tadinya merupakan bagian-bagian kecil dari kerajaan Sriwijaya, berkembang menjadi kerajaan besar seperti yang ada di Aceh dan Semenanjung Malaysia.

Seluruh Nafas Ini

Lihatlah luka ini yang sakitnya abadi
Yang terbalut hangatnya bekas pelukmu
Aku tak akan lupa tak akan pernah bisa
Tentang apa yang harus memisahkan kita

Di saat ku tertatih tanpa kau disini
Kau tetap ku nanti demi keyakinan ini
Jika memang dirimulah tulang rusukku
Kau akan kembali pada tubuh ini
Ku akan tua dan mati dalam pelukmu
Untukmu seluruh nafas ini

Kita telah lewati rasa yang pernah mati
Bukan hal baru bila kau tinggalkan aku
Tanpa kita mencari jalan untuk kembali
Takdir cinta yang menuntunmu kembali padaku

Di saat ku tertatih tanpa kau disini
Kau tetap ku nanti demi keyakinan ini

Jika memang kau terlahir hanya untukku
Bawalah hatiku dan lekas kembali
Ku nikmati rindu yang datang membunuhku
Untukmu seluruh nafas ini


Dan ini yang terakhir (aku menyakitimu)
Ini yang terakhir (aku meninggalkanmu ooo)
Tak kan ku sia-siakan hidupmu lagi
Ini yang terakhir, dan ini yang terakhir
Tak kan ku sia-siakan hidupmu lagi

Jika memang dirimulah tulang rusukku (terlahir untukku)
Kau akan kembali pada tubuh ini (bawa hatiku kembali)
Ku akan tua dan mati dalam pelukmu
Untukmu seluruh nafas ini

Jika memang kau terlahir hanya untukku
Bawalah hatiku dan lekas kembali
Ku nikmati rindu yang datang membunuhku
Untukmu seluruh nafas ini
Untukmu seluruh nafas ini
Untukmu seluruh nafas ini

Tepu Ochaaaa






Minggu, 12 Agustus 2012

Takut Jatuh Cinta

Aku juga ingin jatuh cinta
Seperti yang lainnya
Kini saatnya untuk jatuh cinta
Karena dia menyatakan cinta
Tapi ku takut-takut jatuh cinta
Takut takut patah hatinya
Takut takut jadi gila karena cinta
Takut takut jatuh cinta
Takut takut patah hatinya
Takut takut jadi gila karena cinta
Namun bimbang kini yang ku rasa
Akankah dia terus setia
Atau hanya untuk sementara
Membuat Aku Kecewa
Tapi ku takut takut jatuh cinta
Takut takut patah hatinya
Takut takut jadi gila karena cinta
Takut takut jatuh cinta
Takut takut patah hatinya
Takut takut jadi gila karena cinta
Tapi ku takut takut jatuh cinta
Takut takut patah hatinya
Takut takut jadi gila 
Takut takut jatuh cinta
Takut takut patah hatinya
Takut takut jadi gila
Tapi ku takut takut jatuh cinta
Takut takut patah hatinya
Takut takut jadi gila karena cinta
Takut takut jatuh cinta
Takut takut patah hatinya
Takut takut jadi gila karena cinta
Tapi ku takut takut jatuh cinta
Takut takut patah hatinya
Takut takut jadi gila karena cinta
Takut takut jatuh cinta
Takut takut patah hatinya
Takut takut jadi gila karena cinta

paralyzed

Kata-kata dari mulutmu memang berbahaya
Kau permainkan hatiku dengan berbagai cara
Mata bibirmu sentuhku sampai ku tak bersuara
Lihat arogansimu ku malah lemah tak berdaya
Kau pikirku mudah bagimu
Namun bersamamu tabu bagiku
Now baby boy listen to me boy show me
(How you can get me paralyzed)
This is me now tell me
(How you can get me paralyzed)
This is me boy get me
(How you can get me paralyzed)
I’m just like I’m won’t lie
I want you to do get me paralyzed
(How you can get me paralyzed)
(How you can get me paralyzed)
How you can get me paralyzed
How you can get me paralyzed
How you can get me paralyzed

Wo..u..wo.. this is me boy show me
(How you can get me paralyzed)
This is me now tell me
(How you can get me paralyzed)
This is me boy get me
(How you can get me paralyzed)
I'm just like I'm won't lie
I want you to do get me paralyzed
(How you can get me paralyzed)
How you can get me paralyzed
(How you can get me paralyzed)
(How you can get me paralyzed)

could it be


Kau datang dan jantungku berdegup kencang
Kau buatku terbang melayang
Tiada ku sangka getaran ini ada
Saat jumpa yang pertama
Mataku tak dapat terlepas darimu
Perhatikan setiap tingkahmu
Tertawa pada setiap candamu
Saat jumpa yang pertama
Could it be love, could it be love
Could it be, could it be, could it be love
Could it be love, could it be love
Could this be something that i never had
Could it be love
Mataku tak dapat terlepas darimu
Perhatikan setiap tingkahmu
Tertawa pada setiap candamu
Saat jumpa yang pertama
Could it be love, could it be love
Could it be, could it be, could it be love
Could it be love, could it be love
Could this be something that i never had
Could it be love, could it be love
Could it be, could it be, could it be love
Could it be love, could it be love
Could this be something that i never had
Oh mungkinkah ini cinta
Could it be love, could it be love
Could it be, could it be, could it be love
Could it be love, could it be love
Could this be something that i never had
Could it be love, could it be love
Could it be, could it be, could it be love
Could it be love, could it be love
Could this be something that i never had

7 Keajaiban Dunia Bawah Air

1. Belize Barrier Reef


2. Deep Sea Vents

3. Kepulauan Galapagos

4. Great Barrier Reef

5. Danau Baikal

6. Northern Red Sea



7. Palau, yaitu sebuah negara kepualauan di Samudra pasifik

7 keajaiban dunia kuno

1. Colossus Rodos


2. Taman Gantung Babilonia


3. Mausoleum Maussollos


4. Mercusuar Iskandariah


5. Piramida Agung Giza


6. Patung Zeus


7. Kuil Artemis

Jumat, 10 Agustus 2012

Sejarah Puasa Ramadhan bagi Umat Islam

Salah satu hadits Nabi Muhammad SAW yang paling terkenal tentang rukun Islam adalah yang berbunyi : Islam didirikan atas 5 [perkara], [1] Bersyahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT dan bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya, [2] Mendirikan shalat, [3] Menunaikan zakat, [4] Berpuasa di bulan Ramadlân, dan [5] Melaksanakan haji bagi yang mampu. Hadits tersebut sangat populer di kalangan muslim karena menjadi tiang atau dasar bagi sendi-sendi syariat Islam. Selain karena menjadi tiang, alasan kepopuleran lainnya adalah karena Nabi Muhammad SAW menjelaskan rukun-rukun itu ketika malaikat Jibrîl yang menjelma menjadi seorang pemuda menanyakannya.Kata Ramadlân berasal dari akar kata dasar r-m-dl, atau ra-mi-dla yang berarti “panas” atau “panas yang menyengat”. Kata itu berkembang –sebagaimana biasa terjadi dalam struktur bahasa Arab– dan bisa diartikan “menjadi panas, atau sangat panas”, atau dimaknai “hampir membakar”. Jika orang Arab mengatakan Qad Ramidla Yaumunâ, maka itu berarti “hari telah menjadi sangat panas”. Ar-Ramadlu juga bisa diartikan “panas yang diakibatkan sinar matahari”. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Ramadlân adalah salah satu nama Allah SWT. Tetapi, penulis merasa pendapat ini lemah karena tidak memiliki argumentasi literal.

Demikianlah istilah bulan Ramadlân diambil dari kalimat ramidla-yarmadlu, yang berarti “panas atau keringnya mulut dikarenakan rasa haus”. Keterangan-keterangan tentang lafadz Ramadlân ini disampaikan oleh Muhammad bin Abû Bakar bin Abdul Qâdir Al-Râzî [w. 721 H.] dalam kamus Mukhtâru-sh-Shihhâh dan Muhammad bin Mukarram bin Mandzûr Al-Mashrî [630-711 H.], yang terkenal dengan sebutan Ibnu Mandzûr, dalam karya monumentalnya, Lisânu-l-‘Arab.

Sedangkan puasa dalam bahasa Arab disebut Shiyâm atau Shaûm –keduanya sama-sama kata dasar dari kata kerja Shaa-ma–, yang secara etimologis berarti menahan dan tidak bepergian dari satu tempat ke tempat lain [Al-Syaukânî, 1173-1255 H., Fathu-l-Qadîr]. Shiyâm atau Shaûm merupakan qiyâm bilâ ‘amal, yang berarti ‘beribadah tanpa bekerja’. Dikatakan ‘tanpa bekerja’ karena puasa itu sendiri bebas dari gerakan-gerakan [harakât], baik gerakan itu berupa: berdiri, berjalan, makan, minum dan sebagainya. Sehingga, Ibnu Durayd –sebagaimana dinukil dalam Al-Âlûsî– mengatakan bahwa segala sesuatu yang diam dan tidak bergerak, berarti sesuatu itu Shiyâm, sedang ber-puasa. Selain itu, puasa, sebagaimana penulis sebutkan di atas, berarti ‘menahan’ dari sesuatu pekerjaan. Dan ‘sesuatu’ itu telah ditentukan oleh syariat. Dengan begitu, dalam syariat, puasa memiliki pengertian tersendiri.
Makna puasa yang “menahan” ini juga terlihat jelas tatkala kita menelusuri sejarah bahasa shiyâm atau Shaûm.

Ibnu Mandzûr, pakar sejarah bahasa Arab yang hampir tiada duanya, dalam hasil pelacakannya atas asal-muasal kata, mendefinisikan Shaûm sebagai “hal meninggalkan makan, minum, menikah dan berbicara”. Definisi ini adalah definisi paling asli dan sahih dalam sejarah bahasa Arab. Ini cocok dengan keterangan Al-Qur’an, misalnya, pada kisah Sayyidah Maryam saat menjawab cemoohan-cemoohan orang-orang kepadanya, "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini" [QS. 19:26]. ‘Puasa’ yang dimaksud Sayyidah Maryam di situ adalah “menahan untuk tidak bicara”.

Di sini, sifat ‘menahan’ menjadi titik atau letak perbedaan antara puasa dengan amal ibadah yang lainnya. Apapun amal ibadah seseorang, pasti akan dapat diketahui dari sisi dhâhir atau luarnya, seperti shalat, haji dan sebagainya. Tetapi, untuk puasa tidak bisa diketahui dan tidak bisa diperlihatkan dengan gerakan-gerakan dzahîr atau fisik. Pantaslah jika Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa satu-satunya ibadah yang tidak bisa dicampuri riya’ --memperlihatkan kebaikan tertentu-- adalah puasa.
Melihat keterangan-keterangan Ibnu Mandzûr dan Al-Râzî tersebut di atas, baik tentang makna Ramadlân maupun puasa, ada indikasi bahwa seolah-olah turunnya syariat puasa, setidaknya, bersamaan waktunya dengan kelahiran bulan Ramadlân. Hal tersebut bisa dibenarkan, tentunya, dikarenakan kedua kata itu memiliki relasi makna yang dekat dan saling bersentuhan, yaitu sama-sama ‘panas’ atau ‘kering’ yang disebabkan ‘berpuasa’.

Muncul pertanyaan, sejak kapan pastinya bulan Ramadlân itu ada dan sejak kapan pastinya puasa Ramadlân disyariatkan, sehingga beliau berdua mengaitkan syariat ini dengan maknanya sebagai “panas, kering atau haus”? Dan sejak kapan puasa diberlakukan kepada umat manusia? Bagaimana dengan puasa-puasa terdahulu yang dilakukan tidak di bulan Ramadlân? Pertanyaan-pertanyaan ini akan penulis bahas dengan menelaah kembali ayat Al-Qur’an yang menyangkut syariat untuk melakukan puasa.
Ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan ibadah puasa adalah surat Al-Baqarah ayat 183, yang berbunyi,”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa…”. Ayat tersebut turun tanpa sebab-sebab tertentu, sebagaimana terjadi pada kebanyakan ayat-ayat ahkâm –ayat yang berkenaan dengan hukum–, yang turun setelah ada peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi pada Nabi SAW atau para sahabat.
Pada ayat yang turun ketika Nabi Muhammad SAW di Madinah [Madanî] ini telah disebutkan sebuah informasi yang menyatakan “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”.

Ada dua [2] persoalan pokok pada ayat tersebut yang menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para ulama, khususnya para mufassir. Perbedaan pertama menyangkut kalimat “sebagaimana diwajibkan”. Ini menjadi persoalan karena munculnya pertanyaan; apakah kesamaan berpuasa yang diwajibkan atas kaum “sebelum kamu” adalah puasa di bulan Ramadlân, atau kesamaan itu hanya meliputi hal syariat berpuasa saja, sedangkan waktunya berada di bulan lain [?].

Pada persoalan ini, perbedaan timbul di antara dua pendapat. Yang pertama, dimotori Sa’îd bin Jabîr RA [w. 95 H.], yang cenderung memaknai hukum tasybîh [penyerupaan atau penyamaan] itu hanya pada kewajiban berpuasanya saja, dan tidak meliputi berapa lama dan pada bulan apa berpuasa. Pendapat ini berdasar pada realitas sejarah dimana masyarakat Jahiliyah masih mengenali syariat tersebut, walaupun telah menjadi ‘sejarah’ serta tidak dilakukan di bulan Ramadlân yang sudah dikenal. Bisa jadi pendapat ini menyandarkan kepada salah satu firman Allah SWT tentang bermacam-macamnya syariat bagi masing-masing umat manusia, “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu --maksudnya: umat Nabi Muhammad SAW dan umat-umat yang sebelumnya--, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” [QS. 5:48].

Pendapat kedua lebih terfokus pemahamannya kepada lama hari berpuasa dan bulan diwajibkannya berpuasa. Lebih tepatnya, pendapat kedua ini mengarahkan perhatiannya kepada ayat selanjutnya, pada ayat 184, yang berbunyi, “[yaitu] dalam beberapa hari yang tertentu” [ayyâman ma’dûdât]. Dengan demikian, secara global ulama kelompok ini berpendapat bahwa puasa Ramadlan sebagaimana kaum muslimin lakukan selama ini telah diwajibkan kepada umat-umat yang terdahulu.

Dasar pendapat ini tentu banyaknya riwayat yang menjelaskan tentang hal itu. Antara lain sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullâh bin ‘Umar RA [w. 73 H.], sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Katsîr [701-774 H.] dalam tafsirnya, bahwa Nabi SAW bersabda “Puasa bulan Ramadlân telah diwajibkan oleh Allah SWT atas umat sebelum kamu”.

Pada pendapat yang kedua ini masih terjadi ikhtilâf [perbedaan], apakah selama “beberapa hari yang tertentu” [ayyâman ma’dûdât] berpuasa --yang diwajibkan pada kaum dahulu itu-- adalah berupa sebulan penuh dalam Ramadlân atau bulan-bulan lainnya [?].

Ada dua [2] pendapat, pertama menyatakan bahwa puasa yang disyariatkan pada umat terdahulu adalah berupa puasa selama tiga [3] hari pada setiap bulan. Abdullâh bin ‘Abbâs RA [w. 69 H.] mengatakan, ”Syariat sebelumnya adalah puasa tiga hari setiap bulan, lalu syariat ini di-nasakh dengan syariat yang baru, melalui surat Al-Baqarah ayat 185” [Tafsîr Zâd-l-Mashîr]. Pendapat kedua mengklaim bahwa “hari-hari tertentu” yang dimaksud adalah bulan Ramadlân itu sendiri. Jadi, pada bulan Ramadlân jugalah umat-umat dahulu diwajibkan berpuasa.

Al-Suday menyatakan bahwa orang-orang Nasrani sebenarnya telah memiliki syariat puasa di bulan Ramadlân. Tetapi, karena mereka merasakan berat, mereka kemudian merubahnya dengan berpuasa di waktu antara musim dingin dan musim panas, serta menambah beberapa hari. Beberapa hari tambahan itu dengan perincian masing-masing sepuluh hari sebelum dan sesudah bulan yang disepakati ulama mereka. Sehingga, mereka berpuasa selama lima puluh hari. Ibnu Jarîr [224-310 H.] secara lebih berani meyakini seyakin-yakinnya adanya syariat puasa di bulan Ramadlan bagi Nasrani [Tafsîr al-Thabarî]. Sedangkan agamawan Yahudi, yang juga memiliki syariat puasa di bulan Ramadlân, menggantinya dengan puasa sehari dalam setahun. Hal itu, dalam informasi yang dimiliki Syihâbuddîn Al-Âlûsî [w. 1270 H.], penulis Tafsîr Rûh-l-Ma’ânî, merupakan klaim mereka bahwa hari itu adalah hari tenggelamnya Fir’aun dan tentaranya di laut Merah.

Perbedaan kedua –dalam menelaah ayat syariat puasa itu– adalah tentang siapa yang dimaksud dengan “orang-orang sebelum kamu”. Pendapat pertama mengatakan yang dimaksud adalah ”orang-orang ahlul kitâb”, yaitu mereka-mereka yang masih berpegang kepada kitab agama-agama sebelum Islam [Yahudi dan Nasrani]. Pendapat kedua menyebutkan kaum Nasrani-lah yang dimaksud ayat itu. Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa ayat itu memaksudkan seluruh umat-umat manusia sebelum umat Muhammad SAW.

Dalam kitab Perjanjian, salah satunya di Ezra 8:21, memang diinformasikan secara indikatif adanya syariat-syariat puasa dalam Kristen, tetapi tidak secara terperinci disebutkan apa yang dimaksud dengan puasa, selama berapa lama dan diwajibkan pada bulan apa. “Kemudian di sana, di tepi sungai Ahawa itu, aku memaklumkan puasa supaya kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepada-Nya jalan yang aman bagi kami, bagi anak-anak kami dan segala harta benda kami”. Penulis belum menemukan keterangan-keterangan lain di kitab Perjanjian yang menerangkan lebih jauh tentang puasa tersebut.

Dalam konteks sejarah yang lain, syariat puasa nampaknya benar-benar menjadi syariat setiap umat. Sayyidah ‘Aisyah RA menceritakan –seperti yang diriwayatkan oleh Hisyâm bin ‘Urwah—bahwa orang-orang Quraisy biasa menjalankan puasa di bulan ‘Âsyûrâ, walaupun sehari saja. Namun sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW, puasa dilaksanakan pada bulan Ramadlân. Puasa di bulan ‘Âsyûrâ masih disyariatkan tetapi berada dalam status sunnah.

Masih ada riwayat lain yang menerangkan tentang syariat puasa pada umat dahulu. Al-Dlahâk, dalam riwayat Ibnu Abî Hâtim, mengatakan bahwa puasa pertama kali disyariatkan di zaman Nabi Nuh AS, dan masih tetap berlangsung hingga zaman nabi Muhammad SAW. Syihâbuddîn Al-Âlûsî [w. 1270 H.], penulis Tafsîr Rûh-l-Ma’ânî, dengan berdasar hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abdullâh bin ‘Umar itu, lebih percaya bahwa puasa Ramadlân disyariatkan sejak Nabi Adam AS. Al-Zamakhsarî [467-538 H.] melalui telaahnya atas asal usul bulan Ramadlân juga menegaskan bahwa puasa adalah amal ibadah yang sudah lama [‘Ibâdah Qadîmah ].

Dengan melihat hadits yang diriwayatkan Abdullâh bin ‘Umar dan beberapa riwayat lain serta melihat proses turunnya syariat yang tanpa diawali sebab-sebab tertentu serta beberapa hal lain –yang semuanya telah penulis singgung di atas, nampak jelas bahwa “puasa pada bulan Ramadlân” telah disyariatkan kembali kepada manusia –tidak hanya kepada umat Muhammad SAW– setelah sebelumnya dibelokkan oleh umat-umat terdahulu. Ini lebih bisa diterima karena kemunculan Nabi Muhammad SAW adalah meluruskan dan memperkuat kembali syariat-syariat dari Tuhan yang –sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur’an– telah di-tahrif atau diselewengkan oleh umat-umat terdahulu. Nah, pelurusan dan penguatan syariat pada era Islam ini melahirkan dugaan dari para sarjana Barat, bahwa syariat agama Islam tidaklah murni melainkan mengadopsi dari agama-agama sebelumnya.

Mengenai kata Ramadlân, sebagaimana tersurat dalam hadits Nabi SAW di atas –riwayat Abdullâh bin ‘Umar RA– dan juga surat Al-Baqarah ayat 185, penulis merasa istilah itu mengikuti budaya Arab yang sudah mengenal tradisi ber-Ramadlân. Yang penulis maksudkan adalah, ketika Al-Qur’an atau Nabi SAW menyebut kata Ramadlân, masyarakat sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Bahkan dalam konteks struktur bahasa Arab, kata ini sudah menjadi Ism ghoiri munsharif. Artinya, makna dan maksud kata itu sudah cukup terkenal dan tidak perlu lagi mengikuti kaidah-kaidah gramatikal bahasa Arab.

Dengan demikian, kita bisa memastikan pula bahwa bulan Ramadlân itu ada, setidaknya, sejak syariat puasa diturunkan kepada umat manusia. Karena, makna Ramadlân itu sendiri adalah waktu atau keadaan atau hal dimana seseorang merasakan panas, mulut terasa kering dan tenggorokan terasa haus, yang dikarenakan sedang berpuasa. Sehingga, dengan sendirinya dan secara otomatis, bulan atau waktu dimana orang melakukan puasa disebut bulan atau waktu Ramadlân, yaitu saat yang panas, kering dan haus.

Telah kita ketahui bahwa syariat puasa memang sudah menjadi syariat bagi setiap umat manusia. Dan di antara sekian macam syariat, hanya ibadah puasa merupakan ibadah kontemplatif. Hal ini bisa dibenarkan, karena dalam sebuah hadits Qudsy, Allah SWT telah berfirman, “Seluruh amal ibadah anak-anak keturunan Adam diperuntukkan kepada pelakunya, kecuali puasa. Maka sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku, dan Aku mengganjar karenanya”. Sehingga, dengan pernyataan Allah SWT itu, Imâm al-Qurthubî [627-671 H.] dalam tafsirnya mengatakan bahwa ‘puasa merupakan [komunikasi] rahasia antara hamba dengan Tuhannya’. Itulah, dan sudah selayaknya sangat bisa diterima jika Shuhuf-nya Ibrahim AS, Taurat untuk Musa AS, Injîl untuk Isa AS serta Al-Qur’an pun turun pertama kali pada bulan Ramadlân, bulan saat para pembebas sedang berkontemplasi.